Mengenal Tanah, Filosofi Dasar

MENGENAL TANAH




“Yen iso kulakan mbelek adole emas, Nusantara Makmur”.





Filosofi Dasar

Kalimat di atas artinya kurang lebih: Kalau bisa kulakan kotoran (tai, telek, tokai), jualnya emas, maka Nusantara makmur.  Satu ujar-ujaran yang kesannya guyon dan main-main, tetapi dibalik kesan itu sebenarnya ada ide besar tentang inovasi, merubah barang yang tidak berharga menjadi berharga.  Manusia idealnya harus mampu memberi nilai tambah bagi kehidupan.  Lalu apa kaitannya dengan Tanah ?

Apa itu Tanah, atau Bagaimana cara pandang kita terhadap tanah ?!  mungkin itu partanyaan awal yang cukup tepat untuk mencari tau filosofi tentang tanah.

Pandangan terhadap tanah terbelah menjadi dua (2) : Pertama, Tanah dipandang sebagai Bio-Reactor, tanah dipandang sebagai ‘makhluk hidup’; sedangkan pandangan kedua, Tanah dipandang sebagai Chemical-Reactor, tanah dipandang sebagai benda mati.

Apa perbedaan keduanya ?
Perbedaan kedua cara pandang terhadap tanah, akan mempengaruhi perlakuan selanjutnya terhadap tanah.  Mari kita perhatikan diagram di bawah ini:
 



Diagram : Filosofi Cara Pandang Terhadap Tanah


Diagram di atas secara filosofis menjelaskan betapa besar konsekuensi dari perbedaan cara pandang petani atas tanah, terhadap kehidupan dan penghidupan keluarga petani.  Ketika petani memandang dan memperlakukan tanah sebagai “Reaktor Biologi”, maka cukup dengan mempertahankan kondisi tanah, selanjutnya tanahlah yang akan berperan menghidupi tanaman yang dibudidayakan petani.  Sementara itu, dampak dari cara pandang Tanah sebagai “Reaktor Kimia” petani harus selalu memberikan nutrisi untuk tanamannya.

Cara pandang pertama sejak menurut yang saya pahami, sejak di atas kertas sudah terlihat akan lebih menopang kegiatan pertanian ekologis, pertanian berkelanjutan, penyediaan pangan sehat; sementara cara pandang kedua akan berakibat pada kegiatan pertanian non-ekologis, pertanian sintetis, atau jika memalai istilah Mas Tanto de Hobo adalah “Agrisida” (bercocok-tanam racun).

Maka setelah membaca diagram di atas, dan sebelum mengakhiri artikel ini, saya ingin bertanya kepada Sobat Petani sekalian, semoga berkenan menjawab, dan bisa menjadi pengantar satu diskusi mendalam. Saya berharap mendapatkan jawaban yang berdasar dari pengalaman, bukan teori.

  •          Menurut pengalaman sobat Petani sekalian, manakah cara pandang yang lebih menopang kehidupan ?
  •       Dan menurut pengalaman sobat sekalian, cara pandang manakah yang lebih banyak dipraktekkan di lapangan ?!

Demikian tulisan singkat berjudul Mengenal Tanah, Filosofi Dasar ulasan singkat tentang filosofi tanah, untuk menjadi bahan permenungan kita semua, sebagai dasar menetapkan langkah ke depan.  Semoga bermanfaat bagi kehidupan...



Sampai bertemu di tulisan berikutnya: Pengantar Belajar Ekologi Tanah

Salam Hangat,


Thomas Pras


Sumber :
1. Materi Pelatihan Joglo Tani
2. Diskusi dengan Mas Tanto de Hobo.
Read more ...

Tanah, dari Kacamata Kearifan

TANAH


Ilustrasi Tanah Rusak.  Sumber: Soft Ilmu



Pada mulanya diciptakan dari tanah,
Kemudian, hidup dari apa yang tumbuh di atas tanah,
Dan akhirnya, dikembalikan ke dalam tanah.

‘Buku’ ini dipersembahkan sebagai bentuk pertobatan,
Oleh karena ketakutan akan ‘hidup tak cukup’,
Atau keserakahan untuk menguasai alam,
Kita telah berbuat khilaf,
Hingga tanah ini menjadi kurus dan jiwanya hilang,

Haruskah penggurunan tanah terus berlangsung,
Untuk diwariskan anak turun ?
(Nanang Budiyanto & Team Joglo Tani)



Pengantar
Apa kesan sobat petani ketika membaca ‘puisi’ di atas ?
Saya tercenung saat pertama kali membacanya, oleh sebab tulisan singkat Mas Nanang dkk  itu telah merevolusi cara pandang saya tentang tanah.  Memberi saya pemahaman baru tentang relevansi tanah terhadap hidup -- kehidupan dan penghidupan manusia -- khususnya para petani.  Mengingatkan saya akan arti rasa 'cukup',  dan menepis ketakutan akan hal tersebut.

Saya pikir 'puisi' singkat di atas sudah mewakili apa yang hendak saya sampaikan dalam Page  tentang Tanah ini.  
Maka, 
Bagi sobat petani yang berminat ‘melihat’ tanah dengan angel yang sama, silahkan melanjutkan dengan mengeklik tulisan berikut ini: MengenalTanah, Filosofi Dasar.


Salam Hangat


Thomas Pras

Sumber :
1. Buku Materi Pelatihan Joglo Tani.

2. Buku Permakultur
Read more ...

Cara Membuat EM dan Aplikasinya

CARA MEMBUAT EM DAN APLIKASINYA



Ilustrasi Gambar EM (Effective Microorganism)


PENDAPAT PARA AHLI TENTANG EM
 
Sebelum kita masuk ke pembahasan teknis mengenai Cara Membuat EM dan Aplikasinya, saya ingin mengulas tentang terbelahnya dua (2) pendapat  terkait EM.   Pendapat pertama mengatakan bahwa meskipun Mikroorganisme pada EM berasal dari luar wilayah --katakanlah dari negara lain yang iklim dan karakteristik tanahnya berbeda -- tidak akan memberi pengaruh negatif pada lahan.  Sedangkan pendapat kedua menyatakan sebaliknya, bermasalah karena karakteristik mikroorganisme ditiap lahan berbeda.  Aplikasi mikroorganisme yang berbeda karakteristik dapat memberi pengaruh negartif pada lahan.

Saya pribadi lebih sependapat dengan pendapat kedua, alasannya sebagai berikut:

Pertama,Terkait Asal Mula Tanah.
Tanah berasal dari pelapukan batuan dengan bantuan organisme, membentuk tubuh unik yang menutupi batuan. Proses pembentukan tanah dikenal sebagai ''pedogenesis''. Proses yang unik ini membentuk tanah sebagai tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan atau disebut sebagai horizon tanah. Setiap horizon menceritakan mengenai asal dan proses-proses fisika, kimia, dan biologi yang telah dilalui tubuh tanah tersebut.
Hans Jenny (1899-1992), seorang pakar tanah asal Swiss yang bekerja di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa tanah terbentuk dari bahan induk yang telah mengalami modifikasi / pelapukan akibat dinamika faktor iklim, organisme (termasuk manusia), dan relief permukaan bumi (topografi) seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan dinamika kelima faktor tersebut terbentuklah berbagai jenis tanah dan dapat dilakukan klasifikasi tanah (Sumber : Wikipedia, Tanah)

Kedua, Terkait Pengaruh Tanah dan Adaptasi Tanaman Lokal 
Bahwa jenis mikroorganisme, sebagai salah satu elemen 'pencipta' tanah, yang ada di suatu wilayah akan mempengaruhi karakteristik dan jenis tanah wilayah itu, dan pada akhirnya akan mempengaruhi jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi, tumbuh dan berkembang secara alami di tempat itu. Karakteristik tanah gurun akan berbeda dengan tanah pantai, begitu juga tanah pegunungan dan pesawahan. Kaktus adalah tanaman alami wilayah gurun, kelapa adalah tanaman alami wilayah pantai, dan seterusnya.  Demikian halnya tanah di negara empat musim tidak akan sama persis dengan tanah di negara dua musim.  Bunga matahari bisa tumbuh di negara empat musim bukan saat musim salju, padi gogo tumbuh baik di tanah kering peladangan dan bukan di tanah basah persawahan.

Evolusi, proses selama ratusan bahkan ribuan tahun itu telah mempengaruhi struktur jenis tanah, 'menentukan' jenis tanaman tertentu yang dapat tumbuh alami di lahan kita, maka idealnya tanaman semacam itu yang kita budidayakan di lahan kita – misalnya bisa dilihat dari kesamaan bentuk daun, dll -- sehingga budidayanya juga secara alami, tanpa perlu inputan macam-macam.

Ketiga, Informasi bahwa EM bersifat Offensif.
Pada pertengahan 2008, saya bertemu seorang kenalan yang bekerja di salah satu yayasan penggiat Permakultur di Bali, yang telah memberikan saya satu bundel buku Permakultur. Kebetulan kenalan tadi sedang main ke Lampung dalam rangka mengunjungi keponakannya yang diwisuda.  Teman tadi mengatakan begini: menurut penelitian salah satu kampus di Jawa Barat, mikroorganisme pada EM bersifat offensif.  Jika kita mengaplikasikan EM yang berasal dari mikroorganisme luar wilayah pada lahan kita, maka mikroorganisme tadi akan menghabisi mikroorganisme alami (lokal) yang ada di lahan kita.  Dikatakan bahwa dalam dua tahun lahan kita akan bersih dari mikroorganisme lokal, dan tanah lahan kita akan dikuasai EM-asing.

Mungkin tidak masalah jika tujuannya adalah merubah karakteristik tanah lahan kita, misalnya untuk tujuan membudidayakan tanaman tertentu yang sama asalnya dengan EM yang kita gunakan.  Tapi belum tentu juga tanpa masalah dalam jangka panjang.  

Pertimbanagan dan Analisa awal saya di atas perlu dibuktikan dengan praktek lapangan dan didukung dengan hasil penelitian ilmiah.  Namun untuk berjaga-jaga, perlu prinsip kehati-hatian, asas menghormati alam dengan memperlakukannya secara tidk sembarangan.  

RESEP PEMBUATAN EM YANG SUDAH TERUJI SELAMA BERTAHUN-TAHUN


Maka dengan pertimbangan itu dalam artikel ini saya akan menuliskan resep Membuat EM-0 Lokal, yang sudah dipraktekkan oleh seorang teman Petani dari Jogja, yang menjalankan pertanian organik lebih dari 17 tahun.  Resep ini saya dapatkan dari Mas Tanto de Hobo, Petani Organik yang kritis, asal Sleman, Yogyakarta.

Alat dan Bahan :
1. Buah, cukup buah tak terpakai, menggunakan prinsip re-use sehingga murah (misalnya: pepaya kematengan, pisang kematengan, dll - yg penting mengandung zat gula) sekitar 1 kg.
2. Gula (bisa gula kelapa, bisa gula tebu) sekitar 5 Sendok makan.
3. Air untuk melarutkan gula - Secukupnya.
4. Wadah, misalnya: Botol bekas air mineral ukuran 1,5 liter atau ember (yg penting bukan dari logam)


CARA MEMBUAT EM SECARA MANDIRI


Cara Pembuatan :
1. Buah pepaya / pisang dikupas, lalu dihancurkan hingga menjadi bubur (Pure / jus).
2. Campurkan dengan Gula yg sudah dicairkan.
3. Tuang ke wadah.
4. Tutup wadah (jika botol akan lebih praktis karena sudah ada tutupnya. Jika ember, perlu ditutup dengan plastik, dan diikat. Ini karena Bakterinya Anaerob.
5. Letakkan di tempat yg terlindung dari cahaya matahari langsung.
6. Selanjutnya, setiap hari, tutup botol dibuka selama 10 menit, lalu tutup lagi. Tujuannya mengurangi Gas hasil dari fermentasi.
7. Lakukan sampai 14 hari. EM-0 Siap dipakai.
8. Tanda2 fermentasi berhasil : baunya seperti tapai. kalau baunya busuk berarti gagal.

CARA APLIKASI EM DI LAHAN PERTANIAN


Cara Aplikasi:
EM-0 ini dapat dimanfaatkan baik sebagai starter kompos, yakni untuk mempercepat proses dekomposter atau proses pembuatan kompos, maupun sebagai pupuk tanaman.  Secara umum dosis penggunaan untuk starter kompos perbandingannya lebih pekat jika dibanding untuk digunakan sebagai pupuk, yakni 1 : 5 (1 bagian EM : 5 bagian air) untuk starter, dan 1 : 10 untuk pupuk siram/semprot tanaman.

Yang perlu diingat,  EM ini sifatnya korosif terhadap logam, jadi gunakan alat menyemprot dan menyiram yang berbahan plastik atau karet.


Catatan :
  • Cara Pembuatan EM di atas hanya salah satu dari banyak cara membuat EM.  Mungkin dilain kesempatan saya akan menuliskan cara atau resep lain membuat EM.

  • EM-0 ini sifatnya masih umum, penggunaannya bisa untuk memupuk hampir semua jenis tanaman, namun belum merupakan inputan yang spesifik.  Maka disarankan EM-0 dibuat menjadi EM-1 terlebih dahulu agar lebih spesifik, lebih pas sesuai kebutuhan tanaman sepesifik.  Misalnya EM-1 untuk padi, EM-1 untuk kakao, dan sebagainya.  Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di Cara Membuat EM -1

Demikian Sahabat Petani, semoga artikel berjudul Cara Membuat EM dan Aplikasinya ini bermanfaat.


Salam Hangat






Thomas Pras, 23 April 2014.



Sumber : 
Resep dari Mas Tanto de Hobo, Sleman, Jogjakarta.
Read more ...

Film John Q, Refleksi Pelayanan Kesehatan di Indonesia



                                    Adegan Film John Q, Sumber :  www.filmsondisc.com


Film John Q ini berkisah tentang satu keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu, dengan seorang anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun, yang bercita-cita menjadi atlit binaraga. Kisah keluarga John Q merupakan refleksi kisah keluarga sederhana kebanyakan.   John Archibad sang ayah yang diperankan oleh Denzel Washington, hanya bekerja sebagai buruh. Keluarga sederhana namun bahagia.

Namun pada suatu hari, kebahagiaan John Q terusik.  Anak laki-laki dari JohnQ diketahui mengalami masalah kesehatan : pembengkakan jantung.  Ukuran jantungnya menjadi 3 x dari ukuran normal, dan jika ingin tetap hidup, maka jantung anak laki-laki tersebut harus dioperasi, diganti dengan jantung baru.  Permasalahan berawal dari sini.

Kesulitan biaya akibat ketidakmampuan finansial John Q, menyebabkan pihak Rumah Sakit memutuskan untuk memulangkan anaknya.  Sebenarnya John Q telah berjuang keras mencari biaya, namun baru cukup untuk membayar uang muka saja.  Pihak RS tidak peduli perjuangan John Q mencari biaya demi anaknya bisa memperoleh pelayanan RS.  Perawat yang bertugas merawat sang anak menyampaikan Istri John Q, bahwa sang anak tetap akan dipulangkan.

Sang Ibu yang panik menelpon suaminya yang sedang mencoba mencari tambahan uang dengan menjual barang-barang keluarga mereka yang masih memiliki nilai. Dialog Sang istri dan Sang suami, menggambarkan keputusasaan mereka.  Mendengar anak mereka hendak dipulangkan pihak RS, sang ayah hanya dapat mendesah putus asa dan sedih, sambil berucap ”aku sudah berusaha”. Di gagang telpon istri terisak keras, dengan mimik tertekan ”Kau sudah melakukan semua, tapi belum cukup”!.  Mendengar itu John Q terduduk lemas.

Adegan selanjutnya, John Q datang menemui Dokter yang merawat anaknya. Minta waktu berbicara sebentar dengan Sang Dokter.

John: ”aku sudah membayar panjer, mengapa anakku mau dipulangkan ? ... Aku berjanji akan melunasinya, bagaimanapun caranya, tapi aku berjanji, demi keselamatan anakku”
Dokter : ” Aku hanya membuat rekomendasi John, yang membuat keputusan Dewan Rumah Sakit”.

John : ” Tolonglah, kau bisa melakukannya”

Dokter : ” Aku sudah berusaha maksimal, maafkan” ...

John : ” Belum, kau belum berusaha maksimal”. ”Aku membaca brosur RS, dalam setahun ada 300 operasi seharga $ 75.000,- ... masakan membantu satu untuk anakku tidak bisa ?!”

Dokter : ”Maafkan” .. kemudian dokter tersebut hendak pergi meninggalkan John.

John yang kalut mengeluarkan pistol dari pinggangnya dan menodongkan ke leher dokter. Dokter kaget dan mencoba menasehati John, bahwa yang dilakukannya salah. John menjawab, ia tak bisa hidup tanpa anak laki-lakinya. Yang terjadi kemudian, dokter, perawat, seorang sekuriti, dan beberapa pasien lalu disanderanya di satu ruangan.

Seperti umumnya adegan film Holywood, pihak kepolisian pun segera mengepung RS.
Pimpinan kepolisian mencoba mengajak bicara John, meminta John menghentikan aksinya, dan melepaskan sandera.  John menjawab ia tidak akan melakukannya sebelum anaknya dimasukkan dalam daftar teratas penerima donor jantung.

Pada awal penyanderaan, John menodong semua orang yang ada di ruangan sandera, termasuk seorang laki-laki kulit hitam. Orang tersebut mencurigakan, karena terbungkuk seolah mau mengambil sesuatu. Ternyata tangan laki-laki itu terluka dan mengalami pendarahan cukup hebat.Dokter mengingatkan John bahwa laki-laki itu harus segera mendapatkan perawatan, jika tidak akan berbahaya. John menimpali: ”kamu seorang dokter, lakukan tugasmu”. Akhirnya dokter tersebut meminta perawat untuk mengurus laki-laki yang terluka.

Sandera lain, seorang Ibu dengan aksen Meksiko datang ke RS itu untuk mengobatkan anaknya, namun rupanya bernasib mirip John.  Ia tidak punya kartu asuransi, sehingga RS tidak melayaninya. John pun berseru lantang : ”Kini RS ini ada dibawah kendali manajemen baru”. ”Siapa yang sakit, harus mendapat pelayanan kesehatan”. Dan anak tersebut segera memperoleh pelayanan. Satu lagi pasien adalah wanita hamil yang diantar suaminya karena hendak melahirkan. Karena alasan kemanusiaan, John membebaskan Ibu meksiko dan anaknya, serta Ibu hamil dan suaminya.

Ibu Meksiko, dan sandera lain yang baru dibebaskan ditanya media bagaimana John di mata mereka. Mereka menjawab ”John orang yang baik”. Masyarakat dan media yang ada di luar menjadi simpati pada John.

Diruangan penyanderaan ada kamera CCTV, yang dipakai pihak polisi untuk menganalisa keadaan. Pimpinan polisi mengambil keputusan untuk mengambil tindakan represif, menerjunkan pasukan khusus untuk melumpuhkan John.  John ditembak dari arah plafond, ia pun mengelosor terjatuh. Penembak jitu mengira John sudah dilumpuhkan. Ketika penembak jitu itu bergerak, plafon tempatnya bersembunyi ambrol, setengah tubuhnya menggantung di plafon. John bangkit dan segera menarik petugas polisi tersebut, dan memukulnya hingga pingsan. Rupanya John hanya terluka pada bagian lengannya. Petugas yang terjatuh tadi diikat.

Sementara itu rekaman langsung CCTV tersebut berhasil di bajak oleh salah satu media tv yang meliput, kemudian media tv tersebut menyiarkan sebagai tayangan eksklusif  secara 'live'. Akibatnya, warga menjadi tahu aksi represif petugas kepolisian, sehingga pimpinan polisi terpojok.

Akhirnya pihak RS bersedia menangani anak laki-laki John. Namun bukan berarti persoalan selesai. Jantung donor belum didapatkan. Dan tidak mudah untuk mendapatkan.  John memutuskan untuk menembak kepalanya. John rela bunuh diri, agar jantungnya dapat dipakai untuk menolong anaknya. Dokter yang semula melarangpun dibuat tak berdaya.  Rencana nekat  John tadi berhasil memaksa dokter berjanji untuk melakukan operasi transplantasi bagi anak laki-lakinya.

Setelah mendengar janji dokter, John membuka magasin pistolnya, mengambil sebutir peluru dari kantong celananya, dan mengisikan peluru itu untuk ditembakkan ke kepalanya.

Satu sandera terbengong, jengkel campur tak percaya, dan bertanya : ”Jadi selama ini pistolmu tidak berpeluru ?”.  Sambil tersenyum John menjawab: ”tak seorangpun yang ingin ku tembak, kecuali diriku”.

Disaat kritis, sekian detik sebelum Joh menarik pelatuk pistonya, datang jawaban. Istrinya mengabarkan bahwa pihak RS berhasil mendapat jantung untuk anak mereka. Seorang wanita korban kecelakaan meninggal, ternyata secara medis cocok menjadi donor anak mereka.

Ending cerita, John menyerahkan diri sesuai janjinya.
Anak John selamat.
John disidang dengan tiga (3) dakwaan: pertama percobaan pembunihan, kedua ancaman dengan senjata, dan terakhir penyanderaan.
Sidang memutuskan,
Dakwaan pertama, percobaan pembunihan, dianggap tidak terbukti.
Dakwaan kedua, ancaman dengan senjata, dianggap tak terbukti.
Dakwaan ketiga, penyanderaan, diputuskan bersalah, dan vonis diputuskan seminggu kemudian.

Kisah film John Q sungguh membuatku sangat terharu.  Perasaan berkecamuk yang sama barangkali juga dialami mereka yang menyaksikan film tersebut. 
Happy Ending.


Relevansi FIlm John Q dengan Pelayanan Kesehatan Indonesia

Tentang realitas pelayanan Rumah Sakit saat ini. Iwan Fals dalam satu lagunya menyitir secara tepat, bagaimana buruknya kualitas pelayanan Rumah Sakit dalam menghadapi pasien. Tak ada uang, jangan harap pelayanan. Keselamatan pasien hanya menjadi priorotas ke sekian. Jika yang melakukan RS swasta, yang memang profit oriented barangkali kita sedikit maklum, meskipun tidak bisa menerima seluruhnya. RS milik negara juga demikian. Jangankan yang tidak punya uang, pasien yang sudah masuk ke dalam pun tak jarang dilayani asal-asalan.

 Seperti yang terjadi sekitar tahun 1995, yakni ketika ayah dari seorang teman sakit darah tinggi dan jantung, sehingga harus diopname. Hidungnya harus dipasangi selang oksigen. Suatu malam teman yang menunggui ayanya, melihat sang ayah nafasnya tersengal-sengal. Segera ia berlari memberi tahu perawat jaga, lalu cepat-cepat kembali ke ruangan ayahnya. Tunggu punya tunggu perawat tidak datang-datang. Maka teman tadi kembali menemui perawat jaga. Sekali lagi perawat jaga mengatakan akan memeriksa. Sampai 4 x memberitahu, perawat belum juga memeriksa ayahnya, apalagi ketika dilihat perawat jaga tadi hanya ngobrol dengan temannya, mirip orang pacaran.  Temanku naik pitam, tinjunya pun melayang ke muka perawat pria. Barulah kemudian ada yang beranjak memeriksa.  Esoknya temanku memindahkan Sang Ayah ke RS. Swasta terdekat agar memperoleh pelayanan lebih baik.

Kisah lain terjadi pertengahan 2008. Bapakku terserang jantung koroner, sehingga setiap bulan wajib kontrol  ke dokter jantung. Sebagai pensiunan PNS, Bapak periksa ke RS Umum yang memiliki dokter jantung. Selama memeriksa dan konsultasi, dokter yang melayani hanya diam saja. Sebagai pasien, Bapak merasa perlu tahu kondisinya, maka berinisiatif bertanya. Anehnya dokter tadi dengan gerakan tubuh mengisyaratkan keberatan untuk bertanya jawab dengan pasien. Bapoak merasa kecewa.  Kejadian tersebut ternyata dikeluhkan pasien lain yang sama-sama menunggu obat di apotek. Pasien yang lain kemudian memberitahu :   "Kalau mau dilayani dengan baik, bisa bertanya soal kondisi kita, sebaiknya Bapak periksanya di tempat praktek pribadi dokter tadi".

Sesuai saran pasien tadi, esoknya Bapak periksa ke tempat praktek pribadi dokter tadi.  Dan betul saja, pelayanan dokter tadi berbeda 180 derajat. Dia dengan ramah mendengar keluhan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Bapak. Wah sungguh menyenangkan !


Ada tiga (3) poin yang ingin saya lontarkan, sebagai refleksi dari realitas dan pengalaman terkait Film John Q.  Poin pertama yang ingin ku sampaikan adalah betapa menyedihkan, harga diri profesi seorang dokter tergadaikan hanya gara-gara selisih biaya tidak mencapai Rp. 100 ribu. Alangkah rendah moralitas seorang pelayan kesehatan yang demikian. Aku bersyukur, meskipun hidup sederhana Bapak mampu memikul biaya periksa ke dokter pribadi, tapi sekaligus sedih memikirkan bagaimana nasib mereka yang tidak mampu, yang hanya bisa mengakses pelayanan kesehatan lewat Jamkesmas ?!  Padahal jika orang sakit dilayani dengan menggembirakan, belum mendapat obat atau perawatan pun sudah mendapat penguatan. Sebaliknya jika dilayani dengan sikap menyakitkan, tentunya secara psikologis membuat pasien makin sakit.

Poin kedua, adalah mengenai sistem pelayanan kesehatan yang diselenggarakan negara. Aku yakin jika pelayanan kesehatan di RS negara baik, maka RS swasta di Indonesia tidak akan sesubur ini. Karena alasan pelayanan, mereka yang memiliki uang lebih memilih merogoh kantong lebih dalam, bahkan memilih ke luar negeri.

Jika tak dibenahi, maka kemandirian pelayanan kesehatan makin bergeser menjadi ketergantungan. Swasta, yang mungkin saja milik penanam modal asing akan makin berkibar. RS Internasionalpun makin menjamur, meskipun mengenai standar pelayanannya masih dipertanyakan. Janganklan standar internasional, standar pelayanan RS nasional pun kita belum punya. Yang penting gedungnya mewah, peralatannya canggih, kamarnya nyaman, barangkali sudah bisa basang label internasional. Konsekuensinya tarif yang dibayar pasien makin mahal.

Perlindungan semacam ini seharusnya dapat diberikan oleh pemerintah, baik dengan memberikan pelayanan lebih baik di RS. Umum milik pemerintah, maupun menerbitkan regulasi dan kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan warga negaranya. Perbaikan kualitas sistem pelayanan kesehatan ini menjadi PR para politisi di DPR, Menteri Kesehatan (soal teknis dan kebijakan internal) , Menteri Keuangan (soal anggaran) dan Menteri Kesejahteraan Rakyat (soal peningkatan kualitas kehidupan), dan pihak-lain yang terkait. Koordinasi multisektor harus segera dirajut untuk mengemban mandat UUD, sebagaimana tercantum dalam Preambul: melindungi segenap bangsa Indonesia, Tumpah darah Indonesia ... dan bukan hanya kaum kaya saja !

Ketiga, Soal Keadilan Sosial. Para pemimpin dalam melayani rakyat harus memperhatika aspek keadilan. Kebijakan pembangunan masa lalu telah menelurkan dikotomi Jawa – Non Jawa, Muslim Non Muslim, Kaya – Miskin, Rakyat – Pejabat, ABRI-Sipil, dan seterusnya -- sesuatu yang seharusnya sudah selesai ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan, ketika Proklamasi dibacakan. Bukankah Sumber Hukum, Pancasila dengan ke 36 butirnya dan Pembukaan UUD 45 sudah disiapkan untuk dapat mengampu itu semua ?

Apa artinya Sila Ketuhanan YME, Kemanusiaan, atau Persatuan, dan Muyawarah untuk mufakat, jika tidak mampu menghadirkan rasa Keadilan ?. Rakyat sudah semakin muak dengan keterpurukan, kemiskinan, dan berbagai problem sosial yang mereka rasakan setiap hari, sementara para pemimpin yang bergelimangan fasilitas, ternyata enggan untuk berkeringat menjalankan kewajiban.

Buat apa pejabat negara ini ada jika hakikat manfaatnya masih di awang-awang ?! Sekian banyak orang pintar, baik di Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, dan Birokrat, problem dan persoalan belum dapat dipecahkan. Hal pertama yang perlu dilakukan sebelum bicara soal pelayanan adalah menata ulang dirinya terlebih dahulu. Lebih spesifik, mereka perlu belajar untuk peka dan peduli. Percuma pintar, hebat, jujur, santun, dan sederet kelebihan lainnya, jika kemudian tidak mau tahu dan masa bodoh atas situasi dan keadaan rakyat dan bangsanya. Apakah arti seorang pemimpin, jika yang dilakukan adalah melulu membentuk opini, dan tak pernah mampu melayani publik ?!

Jangan kemudian hanya untuk mendapatkan pelayanan yang manusiawi rakyat diprovokasi dengan pelayanan yang asal asalan, sehingga membangkitkan kemuakan dan kemarahan menjadi kenekatan ala John Q.  Saya pribadi sih setuju dengan kenekatan John Q sebagai bentuk kritikan dan sebagai upaya merebut keadilan.

Semoga para pemimpin sadar dan isyaf dengan keadaan, dan dengan Semoga Presiden Baru nanti kinerjanya seumpama John Q yang lantang berteriak: ”Kini Negara Ini berada di Bawah Managemen Baru .... siapa Sakit akan Diobati, Siapa Bodoh bisa belajar di Sekolah, Siapa Menganggur akan Bekerja dengan upah layak, Siapa Melanggar Hukum akan Dihukum ...”.

Semoga ...

Demikian Kutipan dan Renungan berjudul : Film John Q Refleksi Pelayanan Kesehatan di Indonesia.

Salam hangat,



Thomas Pras, 11 Januari 2010.
Read more ...

Film Rambo First Blood dan Indonesia

Gambar Adegan Film Rambo, First Blood.  Sumber: Klipd


Squel pertama film Rambo berjudul First Blood, merupakan film laga tahun 90-an (dirilis tahun 1982), berkisah tentang veteran perang bernama John Rambo yang dimainkan oleh Silvester Stalone. Rambo yang baru pulang dari menunaikan tugas perang di Vietnam, justru ditolak di negerinya sendiri.  Lantas apa relevansi Film Rambo dengan Indonesia ?

Ceritanya begini ... (biar udah pada nonton, tetap maksa cerita, ha ha)
Awalnya adalah keangkuhan Seorang sherif bernama Will Tease (kalo nggak salah .. ) dengan gegabah menolak, bahkan mengusir John Rambo yang berjalan masuk ke ‘kota-nya’. Rambo diantar paksa keluar dari kota itu. Sampai jembatan batas kota Rambo diturunkan.

Rambo merasa kesal, karena pelecehan sherif tersebut kemudian berjalan kembali ke arah kota itu. Sementara Si Sherif juga kesal karena perintahnya tidak di taati. Rambo pun ditangkap dan di-sel di kantornya. Rambo kembali mendapat pelecehan, dia dimandikan memakai selang semprot, tak ubahnya binatang.  Rambo mencoba bertahan untuk sabar.  Namun ketika akan dicukur paksa dengan menggunakan pisau tajam, Rambo memberontak, sepertinya dia ada trauma yang membekas dengan apa yang dialaminya di Vietnam. Petugas yang memegang pisau wajahnya mendadak ‘berganti’ menjadi wajah tentara vietkong.

Akhirnya dimulailah laga dalam film tersebut. Setelah menghajar beberapa petugas yang menghalanginya, rambo melarikan diri dari kantor sherif. Dia menuju hutan di mana ada bekas tambang batu bara. Di hutan tersebut akhirnya sherif angkuh tersebut merasakan kemarahan Sang Prajurit baret hijau yang mendapatkan mendali kepahlawanan.


Relevansi Film Rambo First Blood dengan Indonesia
Dari film tersebut saya mendapatkan beberapa hal yang relevan dengan situasi Indonesia, negeri kita tercinta, saat ini. Pertama, apa yang dilakukan sherif tersebut mencerminkan perilaku aparat kita. Seringkali mereka merasa diri mereka adalah hukum itu sendiri, tapi perilakunya malah seringkali melanggar hukum, misalnya naik motor tidak memakai helm, petentang-petenteng seperti jawara, dan yang paling umum: korup, eh tilang damai.  Ini kondisi waktu tahun 2010 lho, kalau sekarang kayaknya nggak ...... (silahkan diisi sendiri titik-titiknya, ha ha)

Kedua, penolakan sherif terhadap sang veteran untuk masuk ke wilayah bebas negerinya, tak beda dengan penguasa yang sering menolak dan melecehkan rakyatnya. Rakyat hanya dijadikan obyek dagangan di masa kampanye, atau di masa menjabat penderitaan rakyat bisa dijual sebagai alat pendongkrak citra, dan kendaraan melanggengkan kekuasaan saja.

Ketiga, Rambo yang mampu survive dalam situasi serba darurat adalah kekuatan tersembunyi rakyat yang terbiasa menderita; di usir dari kaki lima, digusur dari tempat tinggalnya, bahkan ketika rakyat terkena musibah bencana masih ada pejabat yang tega mengkorupsi dana dan material bantuan.

Keempat, Sebagaimana Rambo akhirnya marah karena dilecehkan, dipukuli, dan karena melawan untuk membela diri ia dikejar-kejar, bahkan ditembaki, padahal ia masuk kota hanya untuk makan.  Kesabaran rakyat pun ada batasnya. Perlakuan seperti pengusiran tempat mencari nafkah, penggusuran tempat tinggal tanpa pilihan alternatif, atau perilaku pejabat dan aparat yang korup, hidup mewah dari kemalasan, tak mampu memberikan kualitas pelayanan, akhirnya menjadi beban psikologis yang bertumpuk. Jika semua itu tidak segera diakhiri, bukan mustahil rakyat menjadi marah dan melakukan tindakan destruktif. Gelombang massa yang demikian telah terbukti menghancurkan kekuasaan otoriter suatu rezim militer yang sudah mengakar kuat selama 32 tahun.

Pertanyaan saya dan mungkin rakyat kebanyakan bisa jadi sama : Selama 12 tahun (sekarang sudah 16 tahun) rezim baru (reformasi) berkuasa, mengapa perilaku penguasa dan aparat makin menjadi-jadi ? Korupsipun dilegalkan dengan seperangkat produk hukum, bahkan sekelas undang-undang. Tak heran di suatu warung pinggiran kampus, di mana mahasiswa dan tukang ojek sering ngopi bareng, terdengar joke berbau politis, salah satunya begini :

Mahasiswa : ”Tau enggak apa bedanya Orde Baru sama Orde Reformasi ?!”
Tukang Ojeg : ”Tau dong, kita kan pinter, sering kuliah gratis dari numpang denger kalo dosen kalian ngasih kuliah”
Mahasiswa : ”Ya udah, kalau tau coba jawab dong Bang ...”
Tukang Ojeg : ”Gampang. Dengerin nih, waktu jaman ORBA, korupsinya di bawah meja. Gara-gara penguasa pada korupsi yang tersisa tinggal meja kursi ...”. Tukang Ojek sengaja menggantung jawabannya ...
Mahasiswa : ”Terus kalo korupsi di Orde reformasi emang gimana ?”
Tukang Ojek : ”Para pejabat korupsinya makin ok, sampe-sampe meja sama kursinya pun diembat, bablas kabeeeh ...” 
Mahasiswa : ”Ha ha, pinter beneran elo Bang, ha ha ”  
Lalu ia merogoh kantong celana jeans, dan mengangsurkannya pada tukang warung ... Bang, nih ceban buat bayar kopi empat”
Tukang Ojek : ”Wuih ditraktir kita, makasih ya ... tapi ngomong-ngomong bukan dari bokap korupsi kan ?!”
Mahasiswa : ” Sialan elo Bang ... eh tapi jangan-jangan iya ya ?! ha ha .. kalo bokap gue korupsi, mana mau gue ngopi di warung Bang Udin sama elo-elo pada ?! Kaga level !. Udah ah, gue masuk .. ada kuliah lagi ...”
Tukang Ojek : ”Belajar yang rajin ye, tapi kalo dah pinter jangan korupsi dan nipu kita-kita ya ”.


Btw nyambung nggak sih artikel ini sama judul ?
Semoga nyambung ya.  Eh ralat,semoga nggak nyambung lagi ... amit-amit jabang bayi  dah.  :D  
Tapi kalau masih nyambung, berarti nasib kita sama seperti pendapat Almarhum Gus Dur soal Pidato Penguasa : cukup dengar awalnya aja, habis itu tidur juga nggak papa, lha wong pidatonya cuma muter-muter, isinya ya itu-itu aja.  Persis nasib rakyat kali yaaa ...
Demikian Kutipan dan Renungan berjudul Film Rambo First Blood dan Indonesia.  
Semoga terhibur ...
Lho ?! ... :D

Salam Hangat.



Thomas Pras, 2 Februari 2010.
Read more ...

Ketika Agama Tak Lagi Hangat




Gambar Read headed Rock Agama. Sumber : Wikimedia


Flashback: Ketika Agama Tak Lagi Hangat
Saat kecil, ketika aku diperkenalkan oleh kedua orang tuaku tentang agama, yang tertanam di benakku adalah agama adalah satu jalan yang sempurna, dan bukan jalan menuju kesempurnaan, yang terkadang juga seringkali salah dan khilaf.  Semakin besar , aku menjadi sedikit lebih paham bahwa yang bergumul disitu adalah manusia juga, yang masih terdiri dari darah-daging. Tubuh yang tak lepas dari pengaruh keduniawian.

Agama yang hadir dalam peradaban manusia, seharusnya menjadi lentera perjalanan manusia, tapi dalam kenyataannya seringkali tidak mampu berbuat banyak untuk menjawab problematika sosial kemanusiaan, bahkan dalam urusan moral dan etika. Agama seringkali dipakai untuk melegalisir tindakan-tindakan yang bertentangan dengan apa yang diajarkannya, menebar kebencian dan berujung kekerasan, atau dipakai untuk memenuhi syahwat ego manusia .

Sederet panjang tindakan yang dilarang dalam agama, melenggang bebas di negeri yang terkenal ramah dan mengaku sebagai bangsa timur yang religius: kekerasan, pembunuhan, percabulan, fitnah, penipuan, korupsi, penindasan, eksploitasi,dan sebagainya, yang melahirkan kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan kualitas hidup yang rendah, demoralisasi, serta dehumanisasi.

Meski samar, tak jarang pula agama dijadikan “anjing penjaga” kekuasaan, yang segera mengibas-ngibaskan ekor tanda kepatuhan pada tuannya, demi remah-remah roti dari penguasa, yang barangkali diadon dari air mata penderitaan rakyat.  Kenyataan itu membuatku heran, jengah, dan mulai muak.

Ketika sebagian pemuka agama, turut mengajarkan praktik hidup yang kontradiktif dengan apa yang mereka ajarkan selama ini, magma jiwa pun muntab.  Di satu sisi mengajarkan kesederhanaan, namun dalam hidup justru menumpuk harta dan berperilaku konsumtif; di satu sisi mengajarkan kerendahan hati, cinta dan kasih sayang, namun prakik kesehariannya adalah arogansi, senang mendominasi, memonopoli kebenaran, mengeksploitasi sesamanya, serta tidak peka dengan mereka yang lemah dan terpinggirkan, namun justru sibuk melayani mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi mampu, yang dibalut rapih dengan senyum ramah, halus tutur bahasa, gesture tubuh yang santun dan semacamnya.  Aku menyadari, sebagai manusia mereka juga dapat salah dan khilaf, hanya saja ekspektasiku mungkin terlalu tinggi.

Sudahlah, itu bukan urusan dan kapasitasku dan bukan itu pula tujuanku merubah orang lain. Aku menyadari jauh dari sempurna, dan masih terus berjuang untuk menjadi sekedar lumrah disebut manusia. Yang kuharapkan, aku bisa melupakan dan memasabodohkan realita itu. Namun kemarahan itu sepertinya terlalu dalam, sehingga kotbah yang disampaikan menjadi barang yang membuat muak dan mual.

Melihat aku semakin jauh dari agama, hampir tidak pernah lagi melakukan ritual agamaku, kedua orangtuaku menjadi sangat khawatir. Mereka berupaya ‘menyadarkanku’ dengan nasehat-nasehat, lewat dialog, namun yang terlintas justru cerita Ibuku waktu aku masih kecil.  Konon Mbah Buyutku dulu pernah menasehati Ibu ketika menginjak remaja: “Nduk, jangan heran dan jangan goyah, sebab dijamanmu nanti agama akan menjadi seperti gereh, dijual kiloan”.

Aku tersenyum dan berterimakasih pada Orangtuaku, khususnya Ibu yang sudah membagi kisah itu. Ternyata ‘ramalan’ Mbah Buyut benar, dakwah demi uang kini merupakan hal lazim saja. Bahkan Agama menjadi kendaraan untuk melanggengkan “kekuasaan” hirarkis, atau memenuhi ambisi. Gila ! pikirku.  Atau aku yang terlalu naif ?!

Penghiburan (atau pembenaran?) datang ketika seorang teman meminjamkan buku ‘Sejarah Para Tuhan’ dan beberapa artikel Karen Armstrong, atau ketika membaca ide “Tidak Beragama Tapi Bertuhan’-nya Bertrand Russel, 'Senandung' Rumi atau 'puisi' Kahlil Gibran, juga filsafat yang terkandung dalam ajaran 'agama bumi'.  Bacaan-bacaan semacam itu membuatku sibuk, memberikanku keasyikan dan kenikmatan, yang membuatku sedikit lupa untuk muak pada agama.

Namun TUHAN, atau apapun sebutannya, jika benar-benar ada, barangkali benar seperti yang selama ini ku dengar, kuyakini, dan sekaligus sering kuragukan. Benar bahwa Ia adalah CINTA, dan sehingga Ia tidak melepasku dalam kesendirian, namun tetap berkata-kata, menyapa, mengajak berbincang, berdialog, berefleksi, dan merenungkan hidup lewat kejadian keseharian.  Atau terkadang lewat cerita buku, cerita film, yang sama-sekali bukan dakwah yang menggurui dan menghakimi.

Lewat ‘ayat-ayat hidup’ di kehidupan nyata atau maya, aku justru dapat merasakan haru, terkadang hingga berurai air mata, baik karena sedih pun gembira, dan merasakan kelegaaan serta damai yang sesaat sempat hilang.  Barangkali saja itu kerja TUHAN, atau barangkali page ini juga menjadi sarana pengingatku pada TUHAN, yang barangkali juga benar telah mencipta, merawat & memeliharaku dengan segala genangan nikmat anugerah ?!

Entahlah ...
Yang jelas, ketika Agama tak lagi terasa hangat, jiwa-jiwa masih bisa tetap merasakan hangat dengan caranya sendiri ...
Sebab, Semesta Kehidupan ini selalu penuh Inspirasi dan Hikmah, yang bisa kita petik hikmahnya, bagi kehidupan ...

Barangkali perlu kusampaikan disini, artikel page ini merupakan catatan pribadi atas apa yang kurasakan, sama sekali bukan dakwah, dan upaya mempengaruhi, apalagi diniatkan sebagai upaya menyaingi kotbah para pemuka agama ... sama sekali nggak ada.

Artikel-artikel ini kutujukan untuk menelusuri balik fase-fase dalam hidupku, berguna untuk evaluasi proses kehidupanku. Namun juga bukan rahasia, sehingga ketika kutuang dalam page ini bisa jadi akan terjadi interaksi dengan pribadi-pribadi lain yang merasakan hal yang sama, atau malah merasakan sebaliknya.  Siapa tau juga akan terjadi diskusi, yang sedikit banyak akan mewarnai proses pembelajaranku, dan dengan begitu aku bisa belajar tentang banyak sudut pandang, sehingga gagasan dan pemikiranku tidak terjebak dalam subyektifitas.


Entahlah ...
Yang jelas, ketika Agama tak lagi hangat, jiwa-jiwa tetap bisa mengecap bahagia, sebab Semesta kehidupan ini dipenuhi cinta, menunggu dipetik, untuk menggenangi kehidupan kita ...


Sampai ketemu di tulisan selanjutnya : Film Rambo First Blood dan Indonesia


Salam Hangat,



Thomas Pras, 3 Januari 2009.  Diupdate 18 April 2014.
Read more ...