Ilustrasi Pengantar Ekologi Tanah. Sumber: biologipedia.com
Latar Belakang: Mengapa Perlu Belajar Ekologi Tanah ?
Sejak Revolusi Hijau diperkenalkan dan mengarahkan pengertian bahwa untuk memperoleh hasil panen yang tinggi diperlukan benih yang bersertifikat (benih baru yang diklaim unggul), pupuk yang banyak, pestisida, insectisida, fungisida dan herbisida yang mujarab. Pemahaman ini kemudian membawa praktek bertani masuk ke dalam jeratan ketergantungan yang semakin hari menyeret petani ke dalam jerat kemiskinan, tidak hanya miskin dari segi ekonomi juga miskin dari segi kebudayaan berpengetahuan.
Akibat dari tercerabutnya manusia dari akar budayanya sendiri, dari lingkungannya, maka sebagaimana kita saksikan, atau bahkan rasakan, di banyak hal, terjadi kegamangan. Gamang itu kemudian menjadikan hidup setengah-setengah: belajar kepalang tanggung, akhirnya paham juga setengah-setengah, dan berujung upaya yang setengah-setengah, , bahkan tak jarang berakhir pada salah-kaprah. Akibatnya, petani hanya menjadi obyek, dan keberadaannya hanya merupakan bagian dari faktor produksi. Maka petani dan usahatani-nya kian hari kian mendapatkan tekanan yang semakin kompleks, baik berupa tekanan ekonomi, tekanan dari masyarakat dan lingkungan, hingga sistem yang dijalankan.
Berbagai tekanan tadi membentuk petani sehingga cenderung :
· Kagetan dan gumunan (mudah terperangah dan terpengaruh)
· Niru-niru (suka meniru, meski nggak tau apa maksudnya, apa esensinya)
· Gelo tibo mburi (Menyesal dikemudian hari)
· Tergantung ing liyan (tergantung pada pihak lain)
· Nrimo ing pandom (pasrah secara pasif)
Tiga kondisi yang harus dibayar mahal sebagai akibat penerapan Revolusi Hijau, adalah:
1. Kerapuhan Alam Pertanian, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kualitas tanah. Tanah merupakan faktor utama dalam membentuk kondisi lingkungan pertanian (agro-ekosistem), karena tanah merupakan sumber nutrisi yang mengalir pada semua komponen hidup, dan di dalam tanah terjadi proses perputaran kembali nutrisi tersebut. Dalam hal ini peranan bahan organik tanah sangat besar sebagai penyedia energi dan nutrisi biota.
2. Melemahnya Ketahanan Pangan Nasional, ditandai dengan ketergantungan pangan dari import. Ini artinya kita sedang mengalami kerawanan pangan. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memaknai kerawanan pangan: pemenuhan kebutuhan, yakni Ketersediaan Pangan yang cukup secara kuantitatif; Kontinuitas persediaan pangan, tidak hanya saat ini, tetapi pemenuhan secara kuantitas secara terus-menerus; dan Kesehatan Pangan, yakni ketersediaan pangan yang aman dan sehat untuk dikonsumsi.
Melemahnya ketahanan pangan dalam bentuk ketergantungan pada negara lain, pada gilirannya akan mengakibatkan tidak stabilnya situasi sosial dan ekonomi, yang mutlak dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi (Prakosa, 2000).
3. Bertani yang Terjajah. Sikap dan perilaku petani dalam bercocok tanam berubah drastis karena Revolusi Hijau. Ciri Petani yang semula dekat dan akrab dengan alam sudah tidak tampak, meskipun dibeberapa desa hal ini masih bertahan. Warisan ‘Ilmu Titen’, kebiasaan membaca tanda-tanda alam dan perubahan yang terjadi pada alam, serta kemampuan memanfaatkan potensi alam, hanya tinggal cerita. Setidaknya tiga kondisi ini menjadi ukuran pola bertani yang terjajah:
· Ketergantungan pada pihak luar dalam bertani, sejak dari perencanaan produksi hingga memasarkan hasil.
· Menjunjung tinggi nilai efektivitas, tanpa mempertimbangkan efek jangka panjang. Misalnya: produksi tinggi, tapi inputan juga makin tinggi serta tidak proporsional, efeknya tanah jadi rusak, pejal dan tandus.
· Target utamanya meningkatkan produksi keuntungan sesaat, juga kebanggaan sesaat, yang pada akhirnya harus dibayar mahal dengan ongkos lingkungan dan sosial.
Kondisi petani mempengaruhi pola atau budaya tani yang dijalankannya. Maka ‘petani bentukan’ Revolusi Hijau tadi, akan cenderung menerapkan budaya tani yang bersifat tidak tentu, untung-untungan, yang penting kerja, nanam wajib-soal panen tergantung nasib.
Pembelajaran Ekologi Tanah merupakan pembelajaran untuk melihat kaitan-kaitan unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain membentuk kehidupan di dalam tanah. Pembelajaran ini merupakan proses membangun semangat dan membongkar kebekuan berfikir petani sehingga dapat memunculkan dan mengelola potensi diri dan alam sekitar dilandasi dengan rasa kemerdekaan dan kepercayaan diri.
Untuk itu, proses pembelajaran Ekologi Tanah oleh Petani dan Kelompok Tani hendaknya berbasis pada praktek, melalui media yang sudah dikenal oleh petani, tidak rumit dan teoritis, namun merangsang kembali pemikiran kritis.
Demikian tulisan mengenai Pengantar Belajar Ekologi Tanah, semoga bermanfaat.
Sampai bertemu dalam tulisan selanjutnya : Ekologi Tanah.
Sampai bertemu dalam tulisan selanjutnya : Ekologi Tanah.
Salam Tani,
Thomas Pras.
Sumber :
1. Materi Belajar Joglo Tani
2. Meteri belajar Petani padi sistem SRI Purworejo
3. Diskusi dengan Petani Organis.
3. Diskusi dengan Petani Organis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar