Saat kecil, ketika aku diperkenalkan oleh kedua orang tuaku tentang agama, yang tertanam di benakku adalah agama adalah satu jalan yang sempurna, dan bukan jalan menuju kesempurnaan, yang terkadang juga seringkali salah dan khilaf. Semakin besar , aku menjadi sedikit lebih paham bahwa yang bergumul disitu adalah manusia juga, yang masih terdiri dari darah-daging. Tubuh yang tak lepas dari pengaruh keduniawian.
Agama yang hadir dalam peradaban manusia, seharusnya menjadi lentera perjalanan manusia, tapi dalam kenyataannya seringkali tidak mampu berbuat banyak untuk menjawab problematika sosial kemanusiaan, bahkan dalam urusan moral dan etika. Agama seringkali dipakai untuk melegalisir tindakan-tindakan yang bertentangan dengan apa yang diajarkannya, menebar kebencian dan berujung kekerasan, atau dipakai untuk memenuhi syahwat ego manusia .
Sederet panjang tindakan yang dilarang dalam agama, melenggang bebas di negeri yang terkenal ramah dan mengaku sebagai bangsa timur yang religius: kekerasan, pembunuhan, percabulan, fitnah, penipuan, korupsi, penindasan, eksploitasi,dan sebagainya, yang melahirkan kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan kualitas hidup yang rendah, demoralisasi, serta dehumanisasi.
Meski samar, tak jarang pula agama dijadikan “anjing penjaga” kekuasaan, yang segera mengibas-ngibaskan ekor tanda kepatuhan pada tuannya, demi remah-remah roti dari penguasa, yang barangkali diadon dari air mata penderitaan rakyat. Kenyataan itu membuatku heran, jengah, dan mulai muak.
Ketika sebagian pemuka agama, turut mengajarkan praktik hidup yang kontradiktif dengan apa yang mereka ajarkan selama ini, magma jiwa pun muntab. Di satu sisi mengajarkan kesederhanaan, namun dalam hidup justru menumpuk harta dan berperilaku konsumtif; di satu sisi mengajarkan kerendahan hati, cinta dan kasih sayang, namun prakik kesehariannya adalah arogansi, senang mendominasi, memonopoli kebenaran, mengeksploitasi sesamanya, serta tidak peka dengan mereka yang lemah dan terpinggirkan, namun justru sibuk melayani mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi mampu, yang dibalut rapih dengan senyum ramah, halus tutur bahasa, gesture tubuh yang santun dan semacamnya. Aku menyadari, sebagai manusia mereka juga dapat salah dan khilaf, hanya saja ekspektasiku mungkin terlalu tinggi.
Ketika sebagian pemuka agama, turut mengajarkan praktik hidup yang kontradiktif dengan apa yang mereka ajarkan selama ini, magma jiwa pun muntab. Di satu sisi mengajarkan kesederhanaan, namun dalam hidup justru menumpuk harta dan berperilaku konsumtif; di satu sisi mengajarkan kerendahan hati, cinta dan kasih sayang, namun prakik kesehariannya adalah arogansi, senang mendominasi, memonopoli kebenaran, mengeksploitasi sesamanya, serta tidak peka dengan mereka yang lemah dan terpinggirkan, namun justru sibuk melayani mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi mampu, yang dibalut rapih dengan senyum ramah, halus tutur bahasa, gesture tubuh yang santun dan semacamnya. Aku menyadari, sebagai manusia mereka juga dapat salah dan khilaf, hanya saja ekspektasiku mungkin terlalu tinggi.
Sudahlah, itu bukan urusan dan kapasitasku dan bukan itu pula tujuanku merubah orang lain. Aku menyadari jauh dari sempurna, dan masih terus berjuang untuk menjadi sekedar lumrah disebut manusia. Yang kuharapkan, aku bisa melupakan dan memasabodohkan realita itu. Namun kemarahan itu sepertinya terlalu dalam, sehingga kotbah yang disampaikan menjadi barang yang membuat muak dan mual.
Melihat aku semakin jauh dari agama, hampir tidak pernah lagi melakukan ritual agamaku, kedua orangtuaku menjadi sangat khawatir. Mereka berupaya ‘menyadarkanku’ dengan nasehat-nasehat, lewat dialog, namun yang terlintas justru cerita Ibuku waktu aku masih kecil. Konon Mbah Buyutku dulu pernah menasehati Ibu ketika menginjak remaja: “Nduk, jangan heran dan jangan goyah, sebab dijamanmu nanti agama akan menjadi seperti gereh, dijual kiloan”.
Aku tersenyum dan berterimakasih pada Orangtuaku, khususnya Ibu yang sudah membagi kisah itu. Ternyata ‘ramalan’ Mbah Buyut benar, dakwah demi uang kini merupakan hal lazim saja. Bahkan Agama menjadi kendaraan untuk melanggengkan “kekuasaan” hirarkis, atau memenuhi ambisi. Gila ! pikirku. Atau aku yang terlalu naif ?!
Penghiburan (atau pembenaran?) datang ketika seorang teman meminjamkan buku ‘Sejarah Para Tuhan’ dan beberapa artikel Karen Armstrong, atau ketika membaca ide “Tidak Beragama Tapi Bertuhan’-nya Bertrand Russel, 'Senandung' Rumi atau 'puisi' Kahlil Gibran, juga filsafat yang terkandung dalam ajaran 'agama bumi'. Bacaan-bacaan semacam itu membuatku sibuk, memberikanku keasyikan dan kenikmatan, yang membuatku sedikit lupa untuk muak pada agama.
Namun TUHAN, atau apapun sebutannya, jika benar-benar ada, barangkali benar seperti yang selama ini ku dengar, kuyakini, dan sekaligus sering kuragukan. Benar bahwa Ia adalah CINTA, dan sehingga Ia tidak melepasku dalam kesendirian, namun tetap berkata-kata, menyapa, mengajak berbincang, berdialog, berefleksi, dan merenungkan hidup lewat kejadian keseharian. Atau terkadang lewat cerita buku, cerita film, yang sama-sekali bukan dakwah yang menggurui dan menghakimi.
Lewat ‘ayat-ayat hidup’ di kehidupan nyata atau maya, aku justru dapat merasakan haru, terkadang hingga berurai air mata, baik karena sedih pun gembira, dan merasakan kelegaaan serta damai yang sesaat sempat hilang. Barangkali saja itu kerja TUHAN, atau barangkali page ini juga menjadi sarana pengingatku pada TUHAN, yang barangkali juga benar telah mencipta, merawat & memeliharaku dengan segala genangan nikmat anugerah ?!
Entahlah ...
Yang jelas, ketika Agama tak lagi terasa hangat, jiwa-jiwa masih bisa tetap merasakan hangat dengan caranya sendiri ...
Sebab, Semesta Kehidupan ini selalu penuh Inspirasi dan Hikmah, yang bisa kita petik hikmahnya, bagi kehidupan ...
Sebab, Semesta Kehidupan ini selalu penuh Inspirasi dan Hikmah, yang bisa kita petik hikmahnya, bagi kehidupan ...
Barangkali perlu kusampaikan disini, artikel page ini merupakan catatan pribadi atas apa yang kurasakan, sama sekali bukan dakwah, dan upaya mempengaruhi, apalagi diniatkan sebagai upaya menyaingi kotbah para pemuka agama ... sama sekali nggak ada.
Artikel-artikel ini kutujukan untuk menelusuri balik fase-fase dalam hidupku, berguna untuk evaluasi proses kehidupanku. Namun juga bukan rahasia, sehingga ketika kutuang dalam page ini bisa jadi akan terjadi interaksi dengan pribadi-pribadi lain yang merasakan hal yang sama, atau malah merasakan sebaliknya. Siapa tau juga akan terjadi diskusi, yang sedikit banyak akan mewarnai proses pembelajaranku, dan dengan begitu aku bisa belajar tentang banyak sudut pandang, sehingga gagasan dan pemikiranku tidak terjebak dalam subyektifitas.
Entahlah ...
Yang jelas, ketika Agama tak lagi hangat, jiwa-jiwa tetap bisa mengecap bahagia, sebab Semesta kehidupan ini dipenuhi cinta, menunggu dipetik, untuk menggenangi kehidupan kita ...
Sampai ketemu di tulisan selanjutnya : Film Rambo First Blood dan Indonesia
Salam Hangat,
Thomas Pras, 3 Januari 2009. Diupdate 18 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar